capture

PERPUSTAKAAN NASIONAL RI KAWAL LITERASI MASUK DESA

Desa di Indonesia memerlukan perhatian lebih dari pemerintah pusat maupun daerah. Dengan jumlah sekitar 75.000, desa menjadi komunitas penduduk di mana masyarakat Indonesia bertempat tinggal, berinteraksi, berkegiatan ekonomi, dan bersosialisasi. Sehingga kebijakan pemerintah dalam menggelontorkan dana desa dirasa sangat tepat untuk mendukung perkembangan desa.

Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan dan Prestasi Olahraga Kemenko PMK, Didik Suhardi, dalam sambutannya mengatakan terdapat banyak tantangan dalam upaya meningkatkan literasi di Indonesia terutama di desa. Hal tersebut terlihat dari persentase buku yang dibaca setiap tahunnya. Terlebih budaya baca bukanlah sebuah proses instan untuk dibentuk, melainkan sebuah proses panjang yang harus ditempuh. Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI memiliki peran yang sangat luar biasa dalam meningkatkan budaya baca masyarakat Indonesia.

“Budaya baca ini tidak bisa langsung, ada proses pembudayaan yang dimulai dari kecil. Jadi tidak kemudian dewasa tiba-tiba senang baca,” jelasnya pada kegiatan Rakornas Pengembangan Literasi dan Inovasi Berbasis Desa yang diselenggarakan secara hybrid melalui Zoom Meeting dan Sthala Hotel Ubud, Bali, Rabu (22/6/2022).

Lebih lanjut Didik berharap desa sebagai entitas mampu meningkatkan kemampuan literasi dan inovasi masyarakatnya agar dapat semakin berperan dalam pembangunan di Indonesia. Pembangunan desa menurutnya adalah kunci untuk mengentaskan kemiskinan, menurunkan stunting, meningkatkan literasi, inovasi dan kreativitas.

Senada, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas, Deni Kurniadi menyampaikan Program Peningkatan Budaya Literasi telah masuk ke dalam RPJMN 2020-2024 melalui pengembangan budaya baca, pengembangan sistem perbukuan dan penguatan konten literasi, dan peningkatan akses dan kualitas perpustakaan berbasis inklusi sosial.

“Perpustakaan berkontribusi besar dalam membangun masyarakat berpengetahuan (knowledge society) melalui ikhtiar kolektif untuk menumbuhkan tradisi dan budaya baca di dalam masyarakat,” ucapnya.

Untuk lebih mendukung masyarakat, perpustakaan bertransformasi menjadi Lembaga strategis guna meningkatkan literasi masyarakat yang tidak hanya berkontribusi dalam mencerdaskan, namun juga menyejahterakan masyarakat dengan memberikan dampak nyata peningkatan ekonomi keluaraga sehingga mampu mengentaskan kemiskinan di Indonesia.

“Dalam hal ini Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial merupakan perpustakaan yang memfasilitasi masyarakat dalam mengembangkan potensinya dengan melihat keragaman budaya, kemauan menerima perubahan, serta menawarkan kesempatan berusaha, melindungi dan memperjuangkan budaya dan Hak Azasi Manusia (HAM),” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama hadir sebagai narasumber Sekretaris Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan Kemedes PDTT, Rachmatia Handayani, memaparkan bahwa paradigma terkait pembangunan desa telah berubah. Desa tidak lagi menjadi objek pembangunan melainkan telah menjadi subjek utama dalam pembangunan. Dengan demikian, desa secara kedudukan biasa juga diakui sebagai pemerintahan berbasis masyarakat.

“Kita pemerintah dan juga masyarakat harus ikut terlibat di dalam seluruh aspek pembangunan yang ada di desa,” ungkap Rachmatia.

Desa memiliki 18 tujuan, salah satunya adalah Pendidikan Desa Berkualitas. Agar dapat terwujud ada beberapa target yang harus dicapai mengingat pendidikan merupakan satu bentuk investasi yang menentukan masa depan bangsa. Selain itu, pendidikan juga menjadi syarat penting dalam peningkatan kualitas dan daya saing SDM, khususnya di desa.

Oleh karena itu, pemerintah desa harus memastikan persediaaan dan juga keterjangkauan layanan pendidikan yang berkualitas serta akses yang mudah bagi masyarakat desa. Layanan pendidikan prasekolah, pendidikan non formal serta ketersediaan perpustakaan desa wajib dihadirkan.

“Kami sudah bekerja sama dengan Perpusnas untuk bisa mewujudkan perpustakaan desa, baik melalui anggaran dana desa maupun bantuan lainnya dalam mewujudkan Pendidikan Desa Berkualitas,” terangnya.

Literasi yang dalam bahasa inggrisnya literacy berasal dari bahasa Latin yaitu litera (huruf) sering diartikan sebagai keaksaraan. Jika dilihat dari makna hurufiah literasi berarti kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Seringkali orang yang bisa membaca dan menulis disebut literat, sedangkan orang yang tidak bisa membaca dan menulis disebut iliterat atau buta aksara. Kern (2000: 3) menjelaskan literasi sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis. Selain itu literasi juga memiliki kesamaan arti dengan belajar dan memahami sumber bacaan.

Romdhoni (2013: 90) menyatakan bahwa literasi merupakan peristiwa sosial yang melibatkan keterampilan-keterampilan tertentu, yang diperlukan untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi dalam bentuk tulisan.

Kern (2000: 16) yang mendefinisikan : “literasi secara lebih komprehensif sebagai berikut: Literacy is the use of socially, historically, and culturally-situased practices of creating and
interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit awareness of the relationship beetween textual conventions and their contexts of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because it is purpose- sensitive, literacy is dynamic-not static-and variable across and within discourse communities and cultures. It draws on a wide range of cognitive abilities, on knowledge of written an spoken language, on knowledge of genres, and on cultural knowledge. (Literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan historis, dan situasi kebudayaan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubungan-hubungan antar konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaannya serta idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena peka dengan maksud/tujuan, literasi itu bersifat dinamis-tidak statis- dan dapat bervariasi diantara dan didalam komunitas dan kebudayaan. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan pengetahuan
kebudayaan).”

Iriantara (2009: 5) menjelaskan bahwa kini literasi bukan hanya berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis teks saja, karena kini “teks” sudah diperluas maknanya sehingga mencakup juga “teks” dalam bentuk visual, audiovisual dan dimensi-dimensi kompiterisasi, sehingga di dalam “teks” tersebut secara bersama-sama muncul unsur-unsur kognitif, afektif, dan intuitif. Dalam era teknologi seperti sekarang ini, konteks tradisi intelektual suatu masyarakat bisa dikatakan berbudaya literasi ketika masyarakat tersebut sudah memanfaatkan inrormasi yang mereka dapat untuk melakukan komunikasi sosial dan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa literasi merupakan suatu tahap perilaku sosial yaitu kemampuan individu untuk membaca, menginterpretasikan, dan menganalisa informasi dan pengetahuan yang mereka dapat untuk melahirkan kesejehteraan hidup (peradaban unggul).

Menurut Ibnu Adji Setyawan (2018: 1) istilah literasi sudah mulai digunakan dalam skala yang lebih luas tetapi tetap merujuk pada kemampuan atau kompetensi dasar literasi yakni kemampuan membaca serta menulis. Intinya, hal yang paling penting dari istilah literasi adalah bebas buta aksara supaya bisa memahami semua konsep secara fungsional, sedangkan cara untuk mendapatkan kemampuan literasi ini adalah dengan melalui pendidikan. Sejauh ini, terdapat 9 macam literasi, antara lain :

  1. Literasi Kesehatan merupakan kemampuan untuk memperoleh, mengolah serta memahami informasi dasar mengenai kesehatan serta layanan- layanan apa saja yang diperlukan di dalam membuat keputusan kesehatan yang tepat.
  2. Literasi Finansial yakni kemampuan di dalam membuat penilaian terhadap informasi serta keputusan yang efektif pada penggunaan dan juga pengelolaan uang, dimana kemampuan yang dimaksud mencakup berbagai hal yang ada kaitannya dengan bidang keuangan.
  3. Literasi Digital merupakan kemampuan dasar secara teknis untuk menjalankan komputer serta internet, yang ditambah dengan memahami serta mampu berpikir kritis dan juga melakukan evaluasi pada media digital dan bisa merancang konten komunikasi.
  4. Literasi Data merupakan kemampuan untuk mendapatkan informasi dari data, lebih tepatnya kemampuan untuk memahami kompleksitas analisis data.
  5. Literasi Kritikal merupakan suatu pendekatan instruksional yang
    menganjurkan untuk adopsi perspektif secara kritis terhadap teks, atau dengan kata lain, jenis literasi yang satu ini bisa kita pahami sebagai kemampuan untuk mendorong para pembaca supaya bisa aktif menganalisis teks dan juga mengungkapkan pesan yang menjadi dasar argumentasi teks.
  6. Literasi Visual adalah kemampuan untuk menafsirkan, menciptakan dan menegosiasikan makna dari informasi yang berbentuk gambar visual. Literasi visual bisa juga kita artikan sebagai kemampuan dasar di dalam menginterpretasikan teks yang tertulis menjadi interpretasi dengan produk desain visual seperti video atau gambar
  7. Literasi Teknologi adalah kemampuan seseorang untuk bekerja secara independen maupun bekerjasama dengan orang lain secara efektif, penuh tanggung jaab dan tepat dengan menggunakan instrumen teknologi untuk mendapat, mengelola, kemudian mengintegrasikan, mengevaluasi, membuat serta mengkomunikasikan informasi.
  8. Literasi Statistik adalah kemampuan untuk memahami statistik. Pemahaman mengenai ini memang diperlukan oleh masyarakat supaya bisa memahami materi-materi yang dipublikasikan oleh media.
  9. Literasi Informasi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang di dalam mengenali kapankah suatu informasi diperlukan dan kemampuan untuk menemukan serta mengevaluasi, kemudian menggunakannya secara efektif dan mampu mengkomunikasikan informasi yang dimaksud dalam berbagai format yang jelas dan mudah dipahami.

Adapun menurut Waskim (2017:1) dijelaskan bahwa jenis-jenis literasi
meliputi :

  1. Literasi Dasar (Basic Literacy), literasi jenis ini bertujuan utnuk mengoptimalkan kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung. Dalam literasi dasar, kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan (calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi (drawing) berdasar pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi
  2. Literasi Perpustakaan (Library Literacy), lebih lanjut, setelah memiliki kemampuan dasar maka literasi perpustakaan untuk mengoptimalkan Literasi Perpustakaan yang ada. Maksudnya, pemahaman tentang keberadaan perpustakaan sebagai salah satu akses mendapatkan informasi. Pada dasarnya literasi perpustakaan, antara lain, memberikan pemahaman cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah
  3. Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik (media radio, media televisi), media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya. Secara gamblang saat ini bisa dilihat di masyarakat kita bahwa media lebih sebagai hiburan semata. Kita belum terlalu jauh memanfaatkan media sebagai alat untuk pemenuhan informasi tentang pengetahuan dan memberikan persepsi positif dalam menambah pengetahuan
  4. Literasi Teknologi (Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, dapat memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam praktiknya, juga pemahaman menggunakan komputer (Computer Literacy) yang di dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan dan mengelola data, serta menjalankan program perangkat lunak. Sejalan dengan membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini, diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan masyarakat.
  5. Literasi Visual (Visual Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio- visual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang setiap hari membanjiri kita, baik dalam bentuk tercetak, di televisi maupun internet, haruslah terkelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benar-benar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.

Literasi yang sering diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, dan menafsirkan informasi kemudian tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan. Pendidikan antara lain mengajarkan peserta didik meningkatkan kapasitas intelektualnya dan memiliki perangkat berpikir yang memadai untuk menjalankan perannya di tengah masyarakat dan kebudayaan. Gerakan literasi merupakan suatu gerakan yang digagas oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015 yang awalnya timbul akibat keprihatinan terhadap rendahnya kemampuan literasi dan minat baca masyarakat Indonesia.

Wiedarti (2016: 7) mengemukakan bahwa Gerakan Literasi merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, komite sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Gerakan Literasi adalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan konteks atau target sekolah). Ketika pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan kurikulum 2013). Variasi kegiatan dapat berupa perpaduan pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif.